JAWA Barat kaya akan tradisi kerakyatan, termasuk cerita rakyat.
Meskipun tradisi istana pernah hidup di Jawa Barat, karena mengalami
zaman dua kerajaan besar, yakni Galuh di daerah Ciamis dan Pajajaran di
daerah Bogor, sedikit sekali ditemukan artefak-artefak budaya istana.
Kerajaan-kerajaan Hinduistik di Jawa Barat lenyap bersama pendukungnya,
yakni masyarakat istana. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian muncul di
Jawa Barat tidak melanjutkan tradisi istana-istana sebelumnya.
Kerajaan-kerajaan Islam itu adalah Banten dan Cirebon.
Banten dan
Cirebon cenderung kejawa-jawaan akibat hubungan mereka dengan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan
tetapi, apabila ditilik lebih dalam, masih akan tampak ciri-ciri
kesundaan di kedua kerajaan Islam tersebut. Bagaimanapun
kerajaan-kerajaan Islam tersebut masih berada di masyarakat Sunda
sehingga tradisi lokal mendasari kebudayaan di kedua kerajaan tadi.
Tradisi
kerakyatan masih terus hidup di bawah arus budaya-budaya istana yang
silih berganti. Ini disebabkan sistem kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kerajaan-kerajaan Jawa berdasarkan masyarakat sawah, sedangkan
kerajaan-kerajaan Sunda berdasarkan masyarakat huma. Kebudayaan istana
di Jawa Barat hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat nagara.
Di Jawa Barat tidak dikenal adanya negaragung dan mancanegara seperti
di Jawa.
Masyarakat istana adalah masyarakat Sunda di negara itu,
yakni istana dan wilayah yang benar-benar dikuasainya secara langsung.
Hal ini bisa disimak dalam Babad Pakuan abad ke-18 yang ditulis dalam
bentuk wawacan berbahasa Jawa. Saya telah menulis perkara ini dalam
Hermeneutika Sunda. Di luar wilayah, nagara merupakan kesatuan-kesatuan
kampung Sunda yang berpindah-pindah akibat hidup dari ladang padi
(huma).
Sudah barang tentu pengaruh istana sampai juga di
wilayah-wilayah kampung Sunda. Seperti kita saksikan bahwa teks-teks
tertulis Sunda lama masih disimpan oleh penduduk perkampungan di Jawa
Barat.
Selain itu carita-carita pantun yang berisi mitos-mitos
istana Sunda masih tersebar di kalangan rakyat perdesaan. Hanya
artefak-artefak istana sudah sulit ditemukan di kalangan rakyat,
misalnya batik istana Sunda, seni ukir istana Sunda, buku-buku
Hindu-Buddha, tata adat istana Sunda, dan seni gamelan, karena
masyarakat istana-istana Sunda itu memang tidak berlanjut sebagai
lembaga sosial.
Pemandangan semacam itu masih terlihat pula
ketika di Jawa Barat berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Banten dan
Cirebon. Kedua kerajaan itu juga terdiri dari wilayah negara atau
negaragung saja. Wilayah mancanegara tidak dikenal. Apalagi bahasa di
wilayah negara dan negaragung berbeda dengan bahasa masyarakat perdesaan
Sunda.
Dengan demikian, semakin kuatlah kesan kita bahwa
kebudayaan Sunda yang berkontinuitas itu hanya ada di kalangan
masyarakat kampung. Berbeda dengan masyarakat Sunda di zaman
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, yang hubungan antara istana dan rakyat
amat tipis, maka di zaman penyebaran agama Islam di Jawa Barat,
agen-agen perubahan ke arah Islam benar-benar keluar masuk
kampung-kampung Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos rakyat
terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
Tidak mengherankan
apabila di kalangan masyarakat pedesaan Sunda, kenangan terhadap zaman
kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak mengenal zaman seperti itu.
Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awalnya ada di Sunda.
Sunda itu Islam.
Inilah sebabnya cerita-cerita rakyat Sunda amat
kuat kesan keislamannya. Meskipun dalam cerita-cerita rakyat dikenal
nama-nama dewa dan batara yang kehindu-hinduan, namun tidak dalam
pemahaman bahwa itu berdasarkan agama Hindu-Buddha, tetapi Sunda
semata-mata, Kebudayaan Hindu-Buddha-Sunda itu hanya dikenal di kalangan
intelektual moderennya. Di kalangan rakyat, zaman Hindu itu adalah
Sunda.
Lenyapnya ingatan kolektif terhadap kebudayaan
Hindu-Sunda, lebih mirip dengan yang terjadi di Sumatra. Di zaman
kejawaan Hindu-Buddha di Sumatra dikenal kerajaan-kerajaan besar seperti
Sriwijaya, Jambi, Melayu, dan Tulang Bawang. Akan tetapi, begitu
kerajaan-kerajaan maritim itu lenyap, maka lenyap pulalah masyarakat
pendukungnya dalam arti lembaga. Manusia-manusia Buddha-Sumatra tentu
saja masih terus ada, tetapi kemudian bercampur lebur dalam masyarakat
luar istana. Ini disebabkan kerajaan-kerajaan maritim yang besar itu
tidak memerlukan ladang atau sawah untuk mendukung keberadaannya. Mereka
hanya butuh pelabuhan dan tentara sewaan (pegawai tentara) yang mampu
menjaga kedaulatan negara kota maritimnya.
Sedangkan hubungan
mereka dengan rakyat kampung hanya terbatas pada jual-beli atau pajak
berupa hasil kebun rempah-rempah dan produk hutan yang lain.
Seperti
di Sunda, Islam juga tertanam kuat di kalangan rakyat Sumatra. Kenangan
mereka terhadap kejayaan Jambi dan Sriwijaya tidak ada, kecuali di
lingkungan golongan terpelajarnya yang mengenal penggalian sejarah
sarjana-sarjana kolonial. Dewa-dewa juga dikenal di kalangan rakyat
Sumatra, namun tetap harus dibaca sebagai hal yang bersifat Melayu dan
bukan Hindu-Buddha.
Keadaan yang berbeda terjadi di kalangan
rakyat Jawa. Di lingkungan rakyat, dan lebih lebih istana, amat kuat
kenangan kolektif mereka atas budaya Hindu-Buddha sebelumnya. Mereka
menyebutnya sebagai agomo Buddho (agama Buddha). Hal ini disebabkan
sistem kerajaan sawah mereka yang konsentris sejak awal. Hal ini pun
dipermudah karena masyarakat sawah itu menetap. Kontinuitas budaya
rakyat dan istana terus berlangsung, bahkan di kalangan rakyat cenderung
berbudaya istana.
Tradisi budaya istana di Jawa Barat amat tipis
di kalangan rakyat. Sebaliknya tradisi budaya rakyat perladangan amat
kuat. Tradisi ini diwariskan secara lisan. Tradisi budaya lisan selalu
auditif. Karena sifatnya auditif maka budaya ini hanya berkembang di
kelompok komunitas terbatas. Dengan demikian sifat auditif mengembangkan
relasi kekeluargaan (gemeinschaft), harmoni, partisipasi, menekankan
kekonkretan dalam bentuknya yang sederhana. Komunikasi lisan semacam itu
cenderung menyampaikan pesan-pesan komunal melalui bentuk
cerita-cerita.
Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya,
isinya tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari,
dan dongeng binatang. Usaha mengumpulkan jenis-jenis cerita rakyat
tersebut masih sedikit dilakukan, apalagi peneelaahan serius atas
cerita-cerita tersebut. Mitos dan legenda lokal tentu bersifat Sunda.
Akan tetapi, cerita binatang sering berasal dari luar. Sedangkan cerita
kehidupan rakyat sehari-hari banyak bersifat lokal, namun juga sering
diadaptasi dari luar, seperti dalam cerita-cerita Si Kabayan.
Yang
menarik adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang
Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering mengambil
cerita-cerita luar, namun digarap dalam alam pikir masyarakat Sunda.
Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera
yang mirip dengan cerita-cerita kancil di Jawa, dalam tema mencuri hasil
kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil
ditangkap pak tani.
Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet
datang dan diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari
untuk dikawinkan dengan putri pak tani yang cantik. Monyet bersedia
bertukar tempat untuk menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi
hari pak tani menjumpai kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud
untuk memotongnya. Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak
tani membuang "mayat" monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan
kura-kura pun bebas kembali.
Dalam cerita yang sama, monyet itu
tidak bebas. Akan tetapi, berhasil dipotong pak tani dan disate. Dalam
cerita Sunda justru kedua binatang itu selamat semua akibat kecerdikan
keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita rakyat Sunda merupakan
pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu kecerdasan, namun
selalu saling bertemu kembali. Kura-kura di pihak protagonis dan monyet
pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung
dan hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang
Sunda?
Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet)
disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini
kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas
bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air
dan Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya.
Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di
lain saat begitu cerdasnya.
Nanti kalau kita perhatikan, Kabayan
sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah,
sedangkan sebagai tokoh pintar selalu berhubungan dengan manusia lain.
Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan kita secara rohani. Di hadapan
nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan illahiah, Kabayan digambarkan begitu
bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.
Cerita-cerita
Si Kabayan bodoh tidak begitu banyak. Kebodohan Kabayan dalam
cerita-cerita semacam itu sering keterlaluan. Misalnya Kabayan tak bisa
membedakan antara mayat dan manusia hidup, antara bayangan langit dan
permukaan tanah di sawah.
Kebodohan Kabayan yang demikian itu
ternyata simbolik rohani. Kita ini bodoh spiritual. Dalam hal ini, Si
Kabayan bukan hanya jati diri Sunda, tetapi jati diri manusia itu
sendiri.
Kesundaan Si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa
dalam masyarakat Sunda cara hidup sehari-harinya semacam itu, seperti
pergi ke sawah, ke huma, ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri,
haji, salat, pohon tertentu, mandi di kali, dan lain-lain. Akan tetapi
dalam alam pikiran dan sikap spiritual benar-benar untuk semua manusia,
hanya kadang terselip kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, Si
Kabayan memang menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan
tetap universal.
Sebagai cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar
dengan Abu Nawas dan Koja Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si
Kabayan dengan tokoh pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi
tokoh-tokoh cerita rakyat suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan.
Cerita-cerita mereka kadang hanya diwakili satu cerita.
Cerita Si
Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja. Begitu pula
Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si
Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita lebih.
Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.
Sebagai
cerita rakyat milik masyarakat Sunda, Si Kabayan memang istimewa,
setara dengan pantun-pantun Sunda. Cerita-cerita itu amat dalam kalau
ditafsirkan secara budaya. Cerita-cerita itu sama sekali bukan
dongeng-dongeng seperti diperkirakan orang, namun tidak semua
berkualitas demikian, sebab banyak para peniru Si Kabayan yang hanya
melihat permukaan ceritanya.
Cerita-cerita yang demikian itu
tidak serta merta membangkitkan adanya struktur-struktur berpikir
simbolik. Sehingga banyak juga cerita-cerita Si Kabayan baru yang hanya
tertarik pada segi humornya, namun tidak dilandasi oleh cara berpikir
budayanya.
Mengapa istimewa?
Si Kabayan itu tokoh paradoks
yang membangun cerita-cerita paradoks pula. Tokoh demikian itu jelas
muncul dari pemikiran mendalam seorang (atau beberapa orang)
intelektual. Bobot sastrawinya amat tinggi. Meskipun diceritakan secara
lisan sehingga banyak ditambah dan dikurangi sesuai dengan perubahan
masyarakatnya, inti pesannya masih amat jelas. Bahkan kita dapat
merekonstruksi bentuk aslinya.
Permata itu tetap permata,
meskipun berada di mulut kerbau. Dengan mudah kita dapat memilih mana Si
Kabayan yang autentik dan mana Si Kabayan artifisial. Untuk menulis
cerita Si Kabayan yang baru diperlukan dasar pengetahuan filsafat, bukan
sekadar menulis cerita.
Cerita Si Kabayan itu memiliki dasar pandangan mistisisme dan laku mistis itu memang penuh paradoks. ***
Unknown
DeveloperCras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.
0 komentar:
Posting Komentar